Lintang


02 Januari 2003 22.30

Aku menenggelamkan kepalaku dalam bak mandi yang aku isi air penuh. Tentu, air-air itu meluap dan membasahi semua sudut kamar mandi. Bahkan ada yang keluar dari pintu kamar mandi. Aku tak peduli. Aku hanya peduli dengan diriku. Diriku yang malang yang bernafaskan resah setiap kali aku melihat mentari pagi. Bernafaskan sepi setiap kali pipit itu menyapa. Bernafaskan duka setiap kali angin sepoi menembak rambutku. Aku benci dengan kesendirian. Aku benci dengan sepi. Tapi aku sudah memilih dan ini membahas pilihan. Aku bukan orang yang hebat. Bernafas tanpa cinta seperti bernafas tanpa udara. Sedangkan bernafas, secara otomatis, membutuhkan udara. Nafasku sudah terengah. Bila nafasku bisa bicara, dia pasti sudah berteriak. Dia akan selalu meneriakiku dengan suaranya yang menggelegar. Aku benci dengan sendiri sama seperti ketika aku mencoba memasukkan penis suami temanku kedalam vaginaku. Aku membenci, tapi aku pun mencintai. Aku mencintai caraku untuk sendiri. Tapi aku sendiri kurang paham mengapa aku selalu benci dengan sepi. Karena di sisi lain aku mencintai sepi. Sama seperti ketika suami temanku memasukkan penisnya ke dalam vaginaku. Aku benci, tapi aku suka. Karena aku butuh.


03. Januari 2003 23.00

Anjing! Aku lintang dan aku harus kesepian. Sepertinya kedua orang tuaku sangat salah memberi nama kepadaku. Lintang berarti bintang. Bintang itu berkawan. Banyak cinta yang terkirim untuk bintang. Anak kecil sangat mencintai bintang. Orang yang sedang kasmaran sangan menyanjung bintang. Bahkan mereka sering membubuhkan kata bintang di setiap bait puisinya yang dipersembahkan untuk pasangannya. Sedangkan aku? Setan pun sepertinya enggan berteman denganku. Terkadang aku juga berpikir, apa salahku. Aku cantik. Berpayudara besar. Kuat di ranjang. Tubuhku seksi seperti primadona-primadona. Gigiku putih. Nafasku harum. Rambutku panjang untuk di jambak di ranjang. Aku kaya. Lantas? Apa yang kurang. Memang, aku seorang pemakai narkoba aktif. Memang, aku seorang perokok aktif. Memang, aku seorang peminum aktif. Apa itu menjadi masalah? Bukankah hidup tidak memandang perilaku tapi memandang fisik dan kuasa? Lantas? Apa yang salah? Bila hidup memandang perilaku, mengapa sampai sekarang penjahat kelas kakap masih bisa menguap di luar tahanan? Bila hidup memandang tata krama, mengapa seorang pemain video asusila bisa masih leluasa masuk televise tanpa ada sekat? Lantas? Dimana letak keadilan untukku, bajingan? Bahkan Tuhan pun seakan-akan menutup telinga dan mata ketika aku benar-benar ingin berteman. Keparat!


Sebulan tanpa ada kisah. Sebulan tanpa ada catatan. Sebulan tanpa membuka file-file yang memadati inbox di e-mail. Sebulan tanpa ada cerita meskipun sebenarnya mempunyai banyak kisah yang bisa di catat. Sebulan tanpa matahari. Sebulan tanpa teman. Sebulan penuh dengan sperma.


04 Februari 2003 20.03

Cukup, Tuhan. Sepertinya kita perlu bicara. Aku benar-benar sudah mengalami titik kejenuhan yang teramat sangat. Aku sudah membanting tulangku kanan-kiri untuk mencari cinta, meskipun itu sekadar persahabatan. Aku sudah muak dengan sendiri. Sendiri membuatku merasa ingin bunuh diri. Sendiri membuatku bersahabat dengan sepi. Sepi mencobaku untuk menggoreskan belati di dahi. Aku membenci itu. Vaginaku sudah membusuk. Sama busuknya dengan hatiku yang saat ini sedang menanti sejedah cinta yang hinggap meskipun itu dari seorang homoseksual. Payudaraku sudah tak ranum karena para bajingan itu sudah meremasnya berulang kali ketika kami sedang bercinta. Sama tak ranumnya dengan mubazirnya aku ada disini. Aku bekerja untuk hidup. Apa itu salah? Semua orang butuh bekerja untuk bertahan hidup meskipun dengan cara berbeda, bukan? Semua orang butuh makan meskipun makanan itu ada di tong sampah, bukan? Ini hidup. Dan kita harus berjuang, bukan? Lantas apa yang salah denganku? Salah karena aku menjadi pelacur? Salah karena aku menjadi penjaja vagina setiap malam? Salah apa aku? Salahkan Tuhan yang tidak memberikan ketidakberdayaan kepadaku. Salahkan Tuhan yang selalu menjanjikan kemakmuran kepada umat yang mau berjuang tapi tidak selalu tepat. Salahkan ayah tiriku yang memperkosaku ketika aku akan berangkat sekolah di sekolah dasar dekat rumah. Salahkan ibuku yang tega menjualku demi hutangnya yang terlampau banyak dan tak sanggup membayar. Jangan salahkan aku, keparat!


05 Februari 2003 23.00

Hari ini sepi. Badanku lesu. Vaginaku belum dimasuki satu pun penis lelaki. Teman-temanku sudah pulang. Mereka mengeluhkan hal yang sama seperti aku. Sepi. Mereka benci sepi. Tapi aku sudah terbiasa dengan sepi. Sangat bersahabat bahkan kita sudah menjadi saudara kandung. Tak ada yang ditulis untuk hari ini. Hanya seperti biasa. Aku duduk di klab. Diiringi dengan musik yang berdetak. Minum-minuman berserakan di meja. Kulit-kulit kacang berserakkan serempak di atas dan bawah meja. Hanya saja hari ini aku agak letih. Mungkin masuk angin.


Semua kisah pahit, pasti akan berujung manis. Semua kisah manis, akan berakhir pahit. Itu sudah ketentuan alam. Ada positif, pasti ada negatif. Ada awal pasti ada akhir. Aku sudah memilih dengan caraku untuk membunuh sepi. Aku sudah terlalu letih dengan ketidakpastian hidupku. Tuhan tidak akan pernah merubah nasib umatnya jika dia tidak berusaha. Dan saya sudah berusaha, Tuhan. Entah Kau mencintai pilihanku apa tidak, tapi inilah aku. Aku sudah menggariskan takdirku sendiri dengan caraku sendiri. Aku bukan manusia yang Kau pilih untuk menjadi nabi. Aku juga bukan orang yang terlampau sabar untuk menerima semua catatan dan garis hidupku dariMu. Maaf jika aku bukan orang yang Kau hendaki untuk hidup dan tercipta. Tapi aku yakin, tak ada yang salah dengan penciptaanMu. Hanya aku yang kurang cerdas ketika menyelesaikan masalah. Saya sudah membubuhi sepi dengan beberapa bunga sedap malam yang aku petik sendiri. Lagi-lagi memang sendiri. Karena aku Kau ciptakan hanya untuk sendiri sampai akhir penantian. Aku ikhlas. Sekali lagi, Kau tak salah. Aku yang terlampau jauh bertindak. Tapi aku akan tetap menjadi lintangMu. Lintang yang di sanjung oleh anak-anak. Lintang yang di puji oleh sepasang kekasih yang memadu cinta. Lintang yang dibubuhkan ke dalam setiap bait sajak untuk kekasih. Lintang yang tetap bersinar. Dengan atau tanpa cinta…


Nb. Surat diatas ditulis sebelum mesiu benar-benar menyambar kepalanya.

0 komentar:

Posting Komentar