Sepucuk Surat di Amplop Coklat


Galih kembali mengenang rindunya dari masa kelam. Ia merajam kembali pikirannya yang dipaksanya memutar kenangan masa lalu yang seharusnya tak penting ia ingat. Ia bukan manusia dengan alasan. Baginya, hidup bukan hanya bagaimana cara kita melatih bernafas dan makan untuk setiap harinya. Tapi, hidup bermakna luas. Hidup mempertemukan kita dengan belahan jiwa, hidup mempertemukan kita dengan peluang. Hidup mempertemukan kita dengan kegagalan. Hidup mempertemukan kita dengan keberhasilan dan masih banyak lagi. Dan semuanya akan mempunyai kenangan yang sangat berpengaruh akan hidup kita selanjutnya. Hidup lebih daripada mengendus bau tai kucing setiap hari di derasnya kesumpekkan kota. Hidup lebih daripada bernyanyi di karaoke setiap kita merasa lelah. Hidup lebih daripada mengais rokok di emperan jalan lantas menyedotnya meskipun hanya sekali hisapan. Hidup itu punya tujuan. Dan tujuan perlu kenangan.


Galih menguras pikirannya lebih dalam. Dan nihil. Umur lima puluh tiga membuatnya tak lagi mampu memutar masa lalunya dengan mudah. Tak bisa mengingat dengan detil seperti ia dulu mengingat rumus logaritma di bangku SMA. Semua memang terbalik, tapi dia yakin. Ada sesuatu yang membuatnya akan sukses dalam berpikir. Siapa pencipta umur? Siapa pencipta hari? Siapa pencipta waktu yang begitu serakah mempermainkan pikiran setiap orang. Melahap mentah-mentah setiap kenangan yang ingin dikenang. Membunuh secara beringas setiap saat-saat indah yang ingin diingat meskipun hanya sejengkal menit. Galih kembali menyeruput kopi hitamnya di meja. Tak ada yang bisa membantunya untuk berpikir jernih kecuali secangkir kopi hasil racikannya sendiri. Cuma resep kopi dari tangannya sendiri lah yang masih dia hafal sampai saat ini. Tak ada lagi yang mampu ia hafal, sekalipun itu nama anaknya sendiri.


‘Dengan Bapak Galih?’

‘Iya. Ada apa?’

Ada kiriman untuk bapak. Dari Bapak Winagarma di Surabaya. Mohon tanda tangannya,’


Laki-laki itu menyodorkan sebuah amplop coklat dan beebrapa lembar kertas dan satu bolpoin warna hitam.


Galih menandatangani kertas tersebut. Bagus, kali ini dia sedikit mampu mengingat bagaimana ia mencoret kertas penting itu dengan baik. Tanda tangan itu sudah menemaninya saat ia masih di bangku sekolah menengah.


‘Terima kasih, Pak. Permisi,’ pamit laki-laki itu.


Galih tak menjawabnya. Ia lebih fokus terhadap sebuah amplop coklat dengan tali di atasnya. Tertulis tulisan kecil di bagian bawah.


Winagarma Saputra

Jl. Pandeglang 20/01 – Jakarta


Ia kembali termenung. Ia kembali berpikir tentang seseorang yang mengiriminya amplop tersebut. Dia kali ini sedikit bisa mengingat dengan baik. Ada beberapa slide memorinya yang bisa ia ditemukan dengan bantuan nama pengirim tersebut. Ia belum membuka amplop tersebut, tapi ia yakin, ia akan bahagia dengan amplop itu. Ada sebuah kenangan manis yang menunggunya disitu. Ada kisah yang tak tersentuh oleh zaman di amplop itu dan ia ingin menyentuhnya. Ia ingin kembali berpetualang dengan manis dengan amplop itu. Ia yakin, ada kebahagiaannya disitu. Di dalam amplop tersebut.


Dengan hati penuh dengan tatapn haru ia membuka amplop itu. Sebuah kertas dan satu gelang dari karet warna biru disamping kertas tersebut. Ia mulai berdiri dan berjalan masuk ke dalam rumah. Ia mengambil kacamata yang ia letakkan dengan rapi di atas lemari kecil di dekat televisi. Ia kembali duduk tapi di tempat yang berbeda. Ia duduk di ruang tamu. Lantas memakai kacamata tersebut dan mulai untuk membaca surat itu. Surat yang selama ini ia nanti.


Salam,

Sudah lama kita tak berjumpa. Sudah lama kita tak bertatap muka. Bagaimana kabarmu, aku yakin kamu masih tampan sekalipun usia telah merenggut masa muda kita dengan cepat. Aku yakin, kau masih setia dengan kacamata biru yang selalu kau gunakan setiap kita berjumpa dulu. Aku yakin kau masih mengingat hari-hari yang kita lalui dengan keakraban. Menantang dunia dengan indah. Menjadikan dunia yang semula tak ada dan tak mengakui, sekarang mengakui kita.

Aku dengan istrimu sudah meninggal setelah dua tahun kalian menikah? Apa benar? Bila ia, aku turut berduka cita. Dan aku yakin, kau masih bersahabat dengan kesendirian yang pernah kau kenalkan denganku. Memang, dia sahabat yang baik. Tapi dia musuh dalam selimut bagiku. Oh iya, kabarku dan istriku baik-baik saja. Anak kami, bulan ini, akan menjadi sarjana muda dengan menyandang gelar sarjana pendidikan. Saya bangga dengannya seperti saya bangga ketika kau mau menurut apapun yang akan aku katakan.

Umur mengajarkan kita sesuatu. Tapi dengan umur, akan mengingatkan kita dengan sesuatu yang takkan pernah luntur. O ya, masih ingat dengan gelang karet waktu kita membelinya? Ya, aku memberikannya kepadamu lagi, karena aku ingat bahwa kau menghilangkannya waktu itu karena kau lupa setelah kau mandi. Aku ingin kau memakainya, karena hanya itu barang yang aku bisa berikan padamu. Aku masih memakainya, kok… masih aku pasang dengan manis di tangan kiriku. Memang, sesekali aku lepas, tapi aku wajib menggunakannya kembali. Karena itu adalah janjiku waktu itu.

Banyak sekali hal yang ingin aku ceritakan padamu. Banyak sekali. Tapi maaf, aku harus mengakhiri surat ini terlebih dulu. Aku janji, akan memberimu kabar selanjutnya. Aku hanya ingin kau sehat disana. Awas! Jangan sakit! Soalnya kamu teledor bila bersentuhan dengan masalah kesehatan. Jaga pola makan dan tetaplah disana, untukku..

Salam,

Kekasihmu, Winagarma


Galih kembali tersenyum. Ini surat dari kekasihnya. Kekasih hatinya yang sudah lama tak mengiriminya laman indah seperti ini. Ia tak pernah membalas suratnya karena sejak awal, kekasihnya tak mengizinkannya untuk membalas suratnya. Karena kekasihnya mempunyai istri…


Nb. Terimakasih untuk cinta dan keberadaan cinta. Cinta itu agung. Dan bergerak dengan caranya sendiri. Alamat dan nama, kamuflase.

0 komentar:

Posting Komentar