Galih kembali mengenang rindunya dari masa kelam. Ia merajam kembali pikirannya yang dipaksanya memutar kenangan masa lalu yang seharusnya tak penting ia ingat. Ia bukan manusia dengan alasan. Baginya, hidup bukan hanya bagaimana cara kita melatih bernafas dan makan untuk setiap harinya. Tapi, hidup bermakna luas. Hidup mempertemukan kita dengan belahan jiwa, hidup mempertemukan kita dengan peluang. Hidup mempertemukan kita dengan kegagalan. Hidup mempertemukan kita dengan keberhasilan dan masih banyak lagi. Dan semuanya akan mempunyai kenangan yang sangat berpengaruh akan hidup kita selanjutnya. Hidup lebih daripada mengendus bau tai kucing setiap hari di derasnya kesumpekkan
Galih menguras pikirannya lebih dalam. Dan nihil. Umur
‘Dengan Bapak Galih?’
‘Iya.
‘
Laki-laki itu menyodorkan sebuah amplop coklat dan beebrapa lembar kertas dan satu bolpoin warna hitam.
Galih menandatangani kertas tersebut. Bagus, kali ini dia sedikit mampu mengingat bagaimana ia mencoret kertas penting itu dengan baik. Tanda tangan itu sudah menemaninya saat ia masih di bangku sekolah menengah.
‘Terima kasih, Pak. Permisi,’ pamit laki-laki itu.
Galih tak menjawabnya. Ia lebih fokus terhadap sebuah amplop coklat dengan tali di atasnya. Tertulis tulisan kecil di bagian bawah.
Winagarma Saputra
Jl. Pandeglang 20/01 –
Ia kembali termenung. Ia kembali berpikir tentang seseorang yang mengiriminya amplop tersebut. Dia kali ini sedikit bisa mengingat dengan baik.
Dengan hati penuh dengan tatapn haru ia membuka amplop itu. Sebuah kertas dan satu gelang dari karet warna biru disamping kertas tersebut. Ia mulai berdiri dan berjalan masuk ke dalam rumah. Ia mengambil kacamata yang ia letakkan dengan rapi di atas lemari kecil di dekat televisi. Ia kembali duduk tapi di tempat yang berbeda. Ia duduk di ruang tamu. Lantas memakai kacamata tersebut dan mulai untuk membaca
Salam,
Sudah lama kita tak berjumpa. Sudah lama kita tak bertatap muka. Bagaimana kabarmu, aku yakin kamu masih tampan sekalipun usia telah merenggut masa muda kita dengan cepat. Aku yakin, kau masih setia dengan kacamata biru yang selalu kau gunakan setiap kita berjumpa dulu. Aku yakin kau masih mengingat hari-hari yang kita lalui dengan keakraban. Menantang dunia dengan indah. Menjadikan dunia yang semula tak ada dan tak mengakui, sekarang mengakui kita.
Aku dengan istrimu sudah meninggal setelah dua tahun kalian menikah? Apa benar? Bila ia, aku turut berduka cita. Dan aku yakin, kau masih bersahabat dengan kesendirian yang pernah kau kenalkan denganku. Memang, dia sahabat yang baik. Tapi dia musuh dalam selimut bagiku. Oh iya, kabarku dan istriku baik-baik saja. Anak kami, bulan ini, akan menjadi sarjana muda dengan menyandang gelar sarjana pendidikan. Saya bangga dengannya seperti saya bangga ketika kau mau menurut apapun yang akan aku katakan.
Umur mengajarkan kita sesuatu. Tapi dengan umur, akan mengingatkan kita dengan sesuatu yang takkan pernah luntur. O ya, masih ingat dengan gelang karet waktu kita membelinya? Ya, aku memberikannya kepadamu lagi, karena aku ingat bahwa kau menghilangkannya waktu itu karena kau lupa setelah kau mandi. Aku ingin kau memakainya, karena hanya itu barang yang aku bisa berikan padamu. Aku masih memakainya, kok… masih aku pasang dengan manis di tangan kiriku. Memang, sesekali aku lepas, tapi aku wajib menggunakannya kembali. Karena itu adalah janjiku waktu itu.
Banyak sekali hal yang ingin aku ceritakan padamu. Banyak sekali. Tapi maaf, aku harus mengakhiri
Salam,
Kekasihmu, Winagarma
Galih kembali tersenyum. Ini
Nb. Terimakasih untuk cinta dan keberadaan cinta. Cinta itu agung. Dan bergerak dengan caranya sendiri. Alamat dan nama, kamuflase.
0 komentar:
Posting Komentar