Pernah dulu merasakan enaknya pematangan sawah dengan angin yang sepoi yang menerbangkan sedikit rambut dan menggelikan telinga, burung-burung sawah yang bercicit berkelompok dan sengatan matahari yang terhalang pohon besar sehingga tak sebegitu panas. Itu saya alami dulu di Ponorogo, tempat kelahiran saya. Ponorogo, persis di desa Sahang, kecamatan Ngebel. Airnya dingin sedingin air kulkas sehingga terkadang saya betah untuk tidak mandi disana. Haha. :D Bicara tentang Ponorgo, [bagi saya] bukan hanya bicara tentang reog ataupun kuliner satenya. Melainkan bicara tentang alamnya yang mempesona. Mempesona berarti sejuk, mempunyai daya tarik yang baik, dan mempunyai kesediaan ruang yang apik. Akan tetapi, dewasa ini, semua sepertinya terkikis.
Memang, masih ada pegunungan, telaga, dan suasana masih sedingin dulu ketika masa kecil saya, tetapi, peradaban sudah mulai berubah. Hampir setengah hutan yang berada di desa saya lenyap termakan bangunan. Orang-orang
Fenomena ketikdakberhasilan dalam memanfaatkan lahan sebenarnya sudah menjalar dimana-
mana, bukan hanya di desa saya, tapi tempat dimana sekarang saya tinggal sekarang, yakni Sidoarjo, juga masih berteriak keras dengan adanya Lumpur lapindo yang beberapa lalu sudah dikukuhkan menjadi bencana nasional. Memakan jutaan rumah, korban, dan masih banyak lagi. Bila kita bicara tetang keserakahan, saya pikir tidak. Tapi bila itu itu berarti kurang cerdas dan bijak dalam memanfaatkan lahan, saya acungi jempol. Lahan memang digunakan untuk kesejahteraan. Tuhan telah menakdirkan itu. Tapi, kembali lagi, kelestarian itu diciptakan untuk di jaga. Bukan hanya sebagai alat pemberontakkan.
Mungkin alam mulai enggan, bersahabat dengan kita.. coba kita tanyakan kepada rumput yang bergoyang – Ebbiet G. Ade
Secarik lagu yang inspiratif dan penuh makna. Tapi, bagi saya itu hanya sekadar bahasa puisi yang membuat kita semakin bersalah. Sebuah pembodohan bagi saya bila kita percaya bahwa alam tidak lagi bersahabat. Alam tetap bersahabat dengan caranya sendiri. Bila sering kita temukan gempa bumi, tanah longsor, banjir, dan sebaginya. Sekali lagi, itu bukan ulah alam. Tapi ketikdapintaran manusia dalam mengolah lahan dan sebagian lagi karena memang sudah harus begitu.
Manusia memang terlahir dengan ego. Manusia juga terlahir dengan sifat alami manusia, dan serakah masuk dalam keserakahan. Memang benar bila memang atas keserakahan manusia, tapi saya lebih mengutamakan kalimat: ketidakstabilan berpikir dan kurang telitinya manusia dalam berbuat. mengapa? Karena bagi saya ketidakstabilan berpikir dan kurangnya ketelitian itu sangat berdampak besar dalam setiap hal yang kita kerjakan. Kita ambil contoh seperti mengerjakan tugas sekolah. Bila kita tidak bisa konsentrasi atau sedang mengalami ketidakstabilan berpikir, otomatis tugas yang kita kerjakan hasilnya akan jelek dan tidak sepenuhnya sukses. Apalagi bila tidak adanya ketelitian yang benar-benar, wah.. otomatis akan mengulang dan mendapat nilai jelek. Aplikasinya sama dengan mengelola alam.
Sedikit cerita dan essay yang berbelit. Intinya, semua akan baik jika kita mau teliti dan berpikir stabil. Sulit memang untuk mengaplikasikannya setiap hari, tapi apa salahnya jika kita selalu mencoba setiap hari. :)
nb:
0 komentar:
Posting Komentar