Satu kali selusin rindu telah berakhir. Berarti kurang kali selusin lagi. Aku akan menunggumu di gubug ini. Tak usah malu-malu untuk bisa mengucap sekadar ucapan. Ucapkan saja, aku sayang kamu. Bunuh sepi yang selalu ingin membuat kita mati. Bunuh dia sebelum fajar menunjukkan kekuasaannya.
Suara tepuk tangan terdengar jelas di gendang telingaku. Begitu ramai. Begitu bising. Bising dalam arti kata sangat memuaskan. Aku bangga dengan puisi yang kubuat. Puisi yang semalam aku buat untuk kubaca didepan kelas karena ada lomba membaca puisi untuk menambah nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia yang sangat minim. Semua orang bersorak dan berteriak. Itu adalah yang tergambar dalam impianku tadi malam.
Aku masih menjadi pusat perhatian didepan kelas. Senyumku mengembang. Sekali lagi, wajah kepuasan aku pasang di wajahku. Aku buka topeng tentang kemelut yang sedang aku alami. Kemelut hidup yang yang menjadikan puisi ini terbentuk. Kemelut hidup yang menjadikan belati di dapur benar-benar akan diasah dan di tancapkan. Bukan pada sepi, tapi Bapak.
Aku tak bisa tersenyum sejak ada itu. Aku selalu sendiri di teras untuk merenung. Sendiri. Aku anak tunggal, jadi tak ada satupun saudara yang bisa kuajak untuk tukar pikiran. Yang kutahu, aku, Rey, akan menjadi seorang anak yang mungkin tanpa Bapak atau Ibu. Aku hanya bisa tersenyum saat ini. Saat aku sedang disoraki teman-teman yang mencintaiku. Menyayangiku. Aku tak akan berpikir apa-apa soal persoalan Ibu dan Bapak.
Mengingat masa kecil…
Aku masih duduk di bangku TK A. Jadi, bagiku, suara gertakan Ibu saja bisa membuat jantungku benar-benar copot. Setiap malam, Ibu dan Bapak selalu bertengkar. Banyak alasan yang dibeberkan oleh Ibu. Entah karena pulang malamlah, karena di jas biru barunya yang Bapak pakai ada noda lipstiklah dan sebagainya sebagainya. Aku selalu bersembunyi di dalam kamar ketika suara seperti piring pecah berdengung di dalam ruangan. Aku tak tahu apa yang pecah, yang aku tahu itu seperti suara piring. Itu saja dan tak lebih. Aku hanya bisa menangis ketika keesokan harinya. Ketika aquarium yang di belikan Bapak dan beberapa ikan tak ada diatas meja kecil di pojok ruang tamu. Aku mengira bahwa semalam bukan piring pecah, tapi aquarium. Aku lalu pergi ke halaman teras yang dipenuhi rumput-rumput hijau. Banyak sekali. Aku tak bisa menghitung. Ibu Nanik yang mengajar hitung berhitung masih mengajariku sampai angka lima. Aku menangis disana. Meratapi para semut yang bekerja keras untuk mengangkut makanan yang di buang di tempat sampah. Dan melihat rumput yang saling adu satu sama lain karena tertiup angin.
Bukan hanya itu, aku teringat masa kecil dimana Ibu dan Bapak selalu membacakan dongeng si kancil dan buaya. Aku berpikir, kenapa bisa seekor kancil saja bisa sepintar itu, mengapa oarng dewasa tidak? Aku termenung, kenapa seekor buaya yang besar saja bisa dibodohi, kenapa oarng dewasa sama dengan buaya. Mudah terbodohi? Entahlah! Yang aku tahu, orang dewasa adalah sumber masalah. Banyak orang dewasa yang kata Ibu suka menyiksa anaknya yang baru yang baru berumur sama denganku. Lima tahun. Aku berpikir, kenapa orang dewasa tak mau bersifat sedikit dewasa. Semua harus marah-marah. Semua harus pertengkaran. Padahal orang dewasa mengalami namanya usia kecil bukan? Aku tak suka akan hal ini. Aku benci jika orang dewasa tak bisa hidup dan berpikir dengan kedewasaan mereka
Setelah mengingat masa kecil…
Aku, Rey. Adalah anak yang mengalami rasanya sakit hati. Masa kecilku seperti yang kau baca. Suram. Tak berlampu. Berwarna abu-abu kehitaman. Pertengakaran Ibu dan Bapak akhirnya terselesaikan dengan pisau yang telah diasah dan diambil Ibu lalu ditancapkan ke perut Bapak. Aku masih ingat hal itu, lalu segerombol polisi datang dan membawa Ibu. Aku hanya diam. Karena waktu itu aku takut akan sosok polisi yang tegap dan terkesan keras.
Aku tak ingin lagi menengok masa kecilku. Kali ini namaku kuganti agar aku bisa hilangkan rasa kekesalanku terhadap orangtua yang pernah memberi nama. Nenek yang membantuku mengubah nama. Namaku sekarang Raihasya Rutangalug. Dengan nama sapaan dari teman-temanku, Iha.
Izinkan aku tak mengenal lagi arti hidup. Menjadikannya sebagai tombak dan guru yang adil dan berarti. Izinkan aku menjadi malaikat kecil yang mendongengkan kisah putri salju kala malam. Supaya kau terlelap tidur. Supaya kali lagi sepi tak menggannggumu. Percayalah, percaya saja untuk bilang, aku sayang padamu…
:: dedikasi untuk Hari Anak Nasional
Suara tepuk tangan terdengar jelas di gendang telingaku. Begitu ramai. Begitu bising. Bising dalam arti kata sangat memuaskan. Aku bangga dengan puisi yang kubuat. Puisi yang semalam aku buat untuk kubaca didepan kelas karena ada lomba membaca puisi untuk menambah nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia yang sangat minim. Semua orang bersorak dan berteriak. Itu adalah yang tergambar dalam impianku tadi malam.
Aku masih menjadi pusat perhatian didepan kelas. Senyumku mengembang. Sekali lagi, wajah kepuasan aku pasang di wajahku. Aku buka topeng tentang kemelut yang sedang aku alami. Kemelut hidup yang yang menjadikan puisi ini terbentuk. Kemelut hidup yang menjadikan belati di dapur benar-benar akan diasah dan di tancapkan. Bukan pada sepi, tapi Bapak.
Aku tak bisa tersenyum sejak ada itu. Aku selalu sendiri di teras untuk merenung. Sendiri. Aku anak tunggal, jadi tak ada satupun saudara yang bisa kuajak untuk tukar pikiran. Yang kutahu, aku, Rey, akan menjadi seorang anak yang mungkin tanpa Bapak atau Ibu. Aku hanya bisa tersenyum saat ini. Saat aku sedang disoraki teman-teman yang mencintaiku. Menyayangiku. Aku tak akan berpikir apa-apa soal persoalan Ibu dan Bapak.
Mengingat masa kecil…
Aku masih duduk di bangku TK A. Jadi, bagiku, suara gertakan Ibu saja bisa membuat jantungku benar-benar copot. Setiap malam, Ibu dan Bapak selalu bertengkar. Banyak alasan yang dibeberkan oleh Ibu. Entah karena pulang malamlah, karena di jas biru barunya yang Bapak pakai ada noda lipstiklah dan sebagainya sebagainya. Aku selalu bersembunyi di dalam kamar ketika suara seperti piring pecah berdengung di dalam ruangan. Aku tak tahu apa yang pecah, yang aku tahu itu seperti suara piring. Itu saja dan tak lebih. Aku hanya bisa menangis ketika keesokan harinya. Ketika aquarium yang di belikan Bapak dan beberapa ikan tak ada diatas meja kecil di pojok ruang tamu. Aku mengira bahwa semalam bukan piring pecah, tapi aquarium. Aku lalu pergi ke halaman teras yang dipenuhi rumput-rumput hijau. Banyak sekali. Aku tak bisa menghitung. Ibu Nanik yang mengajar hitung berhitung masih mengajariku sampai angka lima. Aku menangis disana. Meratapi para semut yang bekerja keras untuk mengangkut makanan yang di buang di tempat sampah. Dan melihat rumput yang saling adu satu sama lain karena tertiup angin.
Bukan hanya itu, aku teringat masa kecil dimana Ibu dan Bapak selalu membacakan dongeng si kancil dan buaya. Aku berpikir, kenapa bisa seekor kancil saja bisa sepintar itu, mengapa oarng dewasa tidak? Aku termenung, kenapa seekor buaya yang besar saja bisa dibodohi, kenapa oarng dewasa sama dengan buaya. Mudah terbodohi? Entahlah! Yang aku tahu, orang dewasa adalah sumber masalah. Banyak orang dewasa yang kata Ibu suka menyiksa anaknya yang baru yang baru berumur sama denganku. Lima tahun. Aku berpikir, kenapa orang dewasa tak mau bersifat sedikit dewasa. Semua harus marah-marah. Semua harus pertengkaran. Padahal orang dewasa mengalami namanya usia kecil bukan? Aku tak suka akan hal ini. Aku benci jika orang dewasa tak bisa hidup dan berpikir dengan kedewasaan mereka
Setelah mengingat masa kecil…
Aku, Rey. Adalah anak yang mengalami rasanya sakit hati. Masa kecilku seperti yang kau baca. Suram. Tak berlampu. Berwarna abu-abu kehitaman. Pertengakaran Ibu dan Bapak akhirnya terselesaikan dengan pisau yang telah diasah dan diambil Ibu lalu ditancapkan ke perut Bapak. Aku masih ingat hal itu, lalu segerombol polisi datang dan membawa Ibu. Aku hanya diam. Karena waktu itu aku takut akan sosok polisi yang tegap dan terkesan keras.
Aku tak ingin lagi menengok masa kecilku. Kali ini namaku kuganti agar aku bisa hilangkan rasa kekesalanku terhadap orangtua yang pernah memberi nama. Nenek yang membantuku mengubah nama. Namaku sekarang Raihasya Rutangalug. Dengan nama sapaan dari teman-temanku, Iha.
Izinkan aku tak mengenal lagi arti hidup. Menjadikannya sebagai tombak dan guru yang adil dan berarti. Izinkan aku menjadi malaikat kecil yang mendongengkan kisah putri salju kala malam. Supaya kau terlelap tidur. Supaya kali lagi sepi tak menggannggumu. Percayalah, percaya saja untuk bilang, aku sayang padamu…
:: dedikasi untuk Hari Anak Nasional
0 komentar:
Posting Komentar