Aku, Mahasiswi Sastra Indonesia



“Bagaimana dengan buku cerita yang kemarin kamu janjikan padaku, Fat?”

“Aduh.. maaf, Ran. Aku lupa, bukunya ada di rumah.. nanti saja, sepulang dari kampus, kamu mampir ke rumahku.”

“Hm.. nanti aku sms, ya..”

“Oke, Ran.. maaf ya sekali lagi..”

“Oke.. nggak apa-apa.”


Fatikha kembali melanjutkan perjalanan selesai bertemu dengan Rani. Siswi sastra IndonesiaSurabaya. Cantik, tinggi, sangat berbakat menjadi guru. Kegemarannya hanya satu: membaca. Cita-citanya hanya satu: menjadi seorang guru. Rani dan Fatikha adalah teman yang sebenarnya kurang saling mengenal. Pertemuan pertama kali mereka ketika Fatikha hamper dicopet di gang kampus oleh sekelompok preman. Untung saja Rani yang kebetulan lewat, langsung berteriak meminta tolong warga sekitar untuk membantu Fatikha. Pertemuan yang begitu biasa, namun terjalin persahabatan hingga sekarang. disalah satu perguruan tinggi di


Fatikha. Perempuan dengan postur badan gemuk, berkerudung, dan berkulit sawo matang, mempunyai cita-cita yang sama seperti Rani. Menjadi seorang guru. Mahasiswi jurusan sastra inggris ini sering bertukar pikiran dengan sahabatnya, Rani. Mereka saling memberi informasi apabila ada sebuah lembaga pembelajaran seperti kursus atau sekolah yang memang membutuhkan tenaga pengajar. Mereka sering berkeliling dari satu tempat kursus ke tempat kursus lain hanya untuk mencari informasi apakah ada lowongan sebagai tenaga pengajar atau tidak. Dan setiap kali mereka mencari, selalu Fatikha yang selalu beruntung untuk mendapatkan panggilan interview. Sebagian besar tempat kursus di daerah rumah dan kampusnya membutuhkan jurusan bahasa inggris, matematika, fisika, dan kimia. Hampir tidak ada tempat kursus yang mereka singgahi yang menawarkan lowongan untuk pengajar bahasa Indonesia. Rani yang berusaha tegar, memulai untuk tidak terlalu yakin untuk memilih sastra Indonesia untuk mewujudkan cita-citanya. Sebagai seorang pengajar.


20 Januari 2001


“Sampai akhirnya aku terlalu capek untuk mencari, Fat.”

Rani meluruskan kakinya yang sudah tak kuat lagi untuk berjalan di sebuah taman tempatnya meneduh setelah lama mencari tempat kursus yang mencari tenaga pengajar bahasa Indonesia.

“Hm..”

Fatikha menatap wajah sahabatnya. Ada sepotong asa disana. Sepotong asa yang mengalir dari setiap tetes keringatnya.

“Zaman sekarang siapa yang butuh bahasa Indonesia, Fat. Hampir tidak ada. Semua orang sudah tidak memikirkan bahasa Indonesia sebagai kebutuhan.”

“Jangan gitu lah, Ran.. kalau kita terus nyoba, pasti bisa.”

“Udah lebih dari sepuluh kali kamu bilang gitu. Udah lebih dari sepuluh kali juga kita keliling mencari kursusan. Dan lebih dari sepuluh kali juga, kamu sering dipanggil untuk interview sedangkan aku tidak.”

“Aku tahu.. terus kudu gimana lagi, Ran..”

“Aku selalu mikir bahwa bahasa Indonesia itu bahasa yang megah. Bahasa yang harus dipelajari. Aku seneng banget belajar bahasa Indonesia karena aku yakin bahasa Indonesia itu penting. Aku selalu mikir suatu hari nanti aku bisa jadi guru bahasa Indonesia. Mendidik anak didikku menjadi anak Indonesia yang sangat mengenal bahasanya. Tapi ternyata aku salah. Moderenitas memang hebat. Aku kalah, Fat.”

“Ran..” Fatikha mencoba menenangkan. “Udahlah.. yakin deh. Kalau kamu yakin dengan apa yang kamu ambil dan nggak pernah punya pikiran untuk nyerah, kamu pasti bisa.”

“Dulu, Fat. Sampai akhirnya aku tahu apa yang namanya realita.”

Hening. Fatikha menyapu peluh yang menetes di dahinya. Rani memijat-mijat kakinya yang terlalu lelah untuk kembali melangkah.

Setelah beberapa menit..

“Ayo pulang. Udah sore. Waktunya buat sholat maghrib.”

Fatikha mengangkat badan bongsornya, “Ayo.. semangat!!”


23 Maret 2001


08.20 WIB

“Ran.. ada lowongan jadi pengajar di kursus dekat rumahku. Mau nyoba?” Farah buru-buru menjelaskan dengan sigap setelah mencari Rani hampir ke seperempat kampus.

“Untuk bahasa Indonesia ada?” Rani antusias.

“Hm.. kurang tahu juga.. coba dulu deh.. siapa tahu ada. Soalnya untuk persiapan UN.”

“Makasih ya, Far.. makasih banget. Habis ini aku ke kursus dengan rumahmu? Nama kursus dan alamatnya apa?”

Farah menjelaskan dengan sigap dan Rani sibuk mencatat. Ada setitik harapan besar di mata Rani. Rani terlihat senang.


14.05 WIB


“Silakan duduk. Ada apa ya, Mbak?”

Rani menarik kursi kayu lantas mendudukinya. Ia cepat-cepat mengutarakan niatnya.

“Begini, Mbak.. saya dapat informasi bahwa ada lowongan menjadi pengajar disini. Saya mahasiswi jurusan sastra Indonesia. Boleh saya melamar disini?”

Lelaki itu mulai mengatur sedikit tempat duduknya. Menyamankan duduknya dan melanjutkan pembicaraan dengan tenang.

“Iya, Mbak.. sebenarnya kami mencari bidang matematika, fisika, kimia, ekonomi, bahasa inggris, dan akutansi. Untuk bahasa Indonesia, karena minatnya sedikit, kami tidak membuka untuk mata pelajaran tersebut. Maaf lho, Mbak.. tapi, kalau mbaknya berkenan, silakan saja menitipkan lamaran disini. Bila memang permintaan untukmata pelajaran bahasa Indonesia banyak, kami akan memanggil mbaknya.”

Semangat Rani kembali memudar. Satu persatu senyumnya mulai melepas dan pergi. Satu persatu antusiasnya untuk bias mengajar, sedikit demi sedikit melenyap. Mukanya meredup. Tak seperti ketika pertama kali mengetuk pintu tempat kursus.

“Hm.. baiklah, Pak. Terima kasih banyak. Saya titip lamaran disini. Semoga memang ada peminat untuk belajar bahasa Indonesia. Amin.” Rani tersenyum. Senyum hambar.

“Iya. Saya terima lamarannya. Terima kasih, Mbak.”


Tuhan, aku cuma ingin mengajar. Cita-citaku menjadi guru. Guru bahasa Indonesia yang baik. Mengajari generasi muda belajar bahasa Indonesia dan mengenal bahasa Indonesia. Cuma itu, Tuhan. Tidak lebih…


01 Agustus 2001


Ada masalah apa lagi?”

“Aku terlalu capek. Aku udah mulai kesal. Aku mau pindah jurusan.”

Fatikha memberikan segelas penuh es teh yang dibelinya di kantin.

“Minum dulu..”

Rani memandang wajah sayu Fatikha. Ada ketentraman disana. Ketentraman untuk bisa meraih cita-cita dengan baik. Ketentraman untuk melanjutkan mimpinya dengan baik. Ada wajah tenang disana. Tenang yang terkadang Rani benci.

“Aku udah terlalu capek. Aku Cuma pingin ngajar, Fat. Nggak lebih.” Rani menjeda tegukkan es dari Fatikha.

“Udah kepikiran buat buka tempat kursus sendiri?”

“Udah. Kamu juga sendiri, aku udah nyoba kemana-mana. Udah nyoba buat pasang kertas dan ditempel di jalan-jalan. Hasilnya? Sekalipun ada, cuma dalam tempo dua minggu. Lepas itu, selesai.”

“Hm.. sabar ya, Ran.”

“Kamu udah tahu, kurang sabar gimana lagi, Fat?” Oktaf Rani meninggi.

“Minggu depan, aku mau pindah jurusan ke pendidikan bahasa inggris. Aku udah bertekat dan bulat.”


SEKARANG

16 Agustus 2011/ 20.00


“Ini buku ceritanya, Bu Guru..” ledek Fatikha

“Hahaha… makasih ya, Fat. Aku pinjam dulu buku cerita rakyatnya. Sekitar semingguan, aku kembalikan.” Rani tersenyum

“Iya, Ran.. udah.. gampang kok!”

“Aku pulang dulu.. besok langsung ke sekolahan buat ngajar. Anak didikku semuanya agak bandel. Haaah.. agak pusing buat nurutin kemauan mereka.”

“Kudu dinikmatin, Ran.. namanya jadi guru. Hehehe..”

“Iya.. makasih banget ya, Fat, udah mau dukung selama ini. Ngasih semangat sekalipun aku lelah..”

“Sip.. besok, aku pasti butuh dukungan dan semangat dari kamu juga.”

“Oke. Aku pulang dulu.. sekali lagi, makasih banyak.. sampai besok di kampus.”

Rani menaiki motor maticnya. Memasang helm dan mulai berlalu. Fatikha tersenyum lega. Akhirnya semua baik-baik saja dan tak ada masalah. Ia lalu masuk ke rumah. Terlihat sebuah telepon genggam hitam tergeletak di meja depan. Telepon genggam milik Rani. Fatikha membuka telepon tersebut, dan menemukan pesan singkat manis. Pesan singkat yang membuat sahabatnya kembali semangat. Semangat untuk meraih mimpinya. Mimpi yang menurut sebagian orang tidak terlalu menarik. Mimpi yang membuatnya sadar bahwa tidak ada sesuatu yang mustahil. Apapun itu. Mimpi menjadi guru bahasa Indonesia. Fatikha membaca dengan tersenyum sambil terdengar suara lagu kemerdekaan dari televisi.


Pengirim : +62508936997

Tanggal : 05 Agustus 2011

Tolg datg untuk interview di SDN Kencana Buana besok pkl 10pagi. Terimakasih.

-kepala SDN Kencana Buana-



Tak ada yang tak bisa tergapai. Karena semua hal itu adalah kemungkinan. Bukan ketidakmungkinan.

­-Rizal Kurniawan-

1 komentar:

Unknown mengatakan...

aku membaca nysa sampai selesai mas.. kena di di imajinasi.. makasih mas// salam.

Posting Komentar